Kapal Kawan: Teman Lama

  “ Bukan, Pak. Ini rumah Pak Hardiman. Bukan rumah Pak Sanusi.”


Aku melihat bangunan mewah tiga tingkat itu dengan ragu. Apa benar ini bukan rumah Sanusi?? Tapi aku ingat benar lingkungan rumah ini.

“ Terima kasih, Pak.” Aku mengangguk pada satpam rumah dan ia membalas dengan anggukan ramah dan sopan.

Aku berjalan mengitari rumah yang ada di sudut jalan ini. 

Aku semakin mengerutkan keningku. Rasanya ada yang salah. Ini pasti benar rumah Sanusi. Terletak di sudut jalan dan ada pohon asam di depannya. Di seberangnya playground tempat biasa anak-anak bermain. Di komplek ini hanya ada satu playground dan berarti aku tidak salah.

Memang rumahnya berbeda. Dulu rumah Sanusi hanya satu lantai dan sangat kecil. Halamannya sih luas, tapi jaman dulu halaman rumah luas tidak berarti apa-apa dibanding orang lain yang punya rumah tingkat tanpa halaman.


Aku memperhatikan rumah itu dengan seksama, berusaha mencari-cari hal yang bisa kukenali. Ah, aku mau cari apa? Rumah itu benar-benar dirombak sejadi-jadinya. Tidak ada sisa-sisa kenangan antara aku dan Sanusi. Jendela kayu yang rusak akibat kami bermain bola dengan tidak hati-hati pun sudah tidak ada. Sekarang yang ada jendela persegi panjang dengan kaca bening yang dihias dengan gorden warna coklat emas. 

Mengingat jendela rumah Sanusi yang rusak membuatku teringat hari terakhir aku bertemu dengannya beberapa belas tahun yang lalu. Maluuuu rasanya…

Aku menundukkan kepalaku dan menarik napas dalam. Rasanya aku pun sudah tidak punya muka untuk bertemu dengannya.

Aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke arah playground. Sebuah bangku taman yang sepertinya baru dicat ulang mengundangku untuk duduk. Benar juga. Seharian ini aku berjalan ke sana ke mari mencari alamat. Kakiku sudah pegal dan sakit.

Aku duduk di bangku taman panjang berwarna hijau. Kurenggangkan tubuhku dan menikmati udara segar yang datang dari pohon-pohon rindang. Saat itu baru kusadari, aku masih memegang kertas di tanganku. 


Catatan kecil di tanganku, keterangan rumah Sanusi yang kudapat dari Farah terlihat sudah sangat kusut. Sebentar lagi mungkin tanpa sengaja kertas itu sudah kubuang karena kupikir sampah.



Aku melihat sekeliling playground dan aku baru ingat kalau tanah ini pasti sebelumnya lapangan. Iya, tanah ini pasti tadinya lapangan. Nggg.. Lebih tepatnya tanah kosong yang sering dijadikan anak-anak untuk bermain bola.



Rumah yang ada di antara playground ini pun tadinya tidak ada. Hanya ada rumah Sanusi dan dua rumah lainnya yang jarak masing-masingnya sekitar 3 meter dari rumah Sanusi. 


Di sekitar kampung ini tidak ada tanah kosong lagi. Ya, ada sih, tapi tidak enak untuk bermain bola karena rumput-rumputnya terlalu tinggi atau ada juga yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Jadi, tanah ini paling pas buat bermain bola.


Hampir tiap hari anak laki-laki di kampung ini bermain bola. Sering pula kami melakukan pertandingan antar Rt di sini. Pokoknya pasti tiap sore tanah kosong di sini ramai dengan anak-anak, orang tua, atau ABG-ABG.


Kalau sudah begitu, tukang bakso, tukang es doger, dan tukang jajanan lainnya, pasti ikut nimbrung untuk berjualan. Begitu juga dengan Emak Umiah, ibunya Sanusi. Janda ini berjualan pecel dan rujak setiap sore, di jam-jam warga kampung suka nongkrong di lapangan. Lumayan buat tambah-tambahan. Upah dari ia menjadi buruh cuci tidak akan cukup untuk membiayai sekolah Sanusi.


Sanusi memang bukan anak orang kaya. Dia anak satu-satunya dan ibunya janda. Tapi janda atau bukan pun masih diragukan. Waktu Sanusi umur 12 tahun, bapaknya pergi ke Malaysia jadi TKI. Beberapa bulan mereka mendapat uang kiriman yang cukup lumayan, tapi di bulan ke 5 bapaknya tidak mengirim. Begitu juga di bulan-bulan berikutnya. Bahkan tidak ada surat yang datang. Bisa dibilang Emak Umiah terus menanti kedatangan suaminya atau minimal suratnya untuk memberi kabar.


Itu 22 tahun yang lalu. Saat saya dan Sanusi masih asik bermain-main dengan bola atau mencari ikan di sungai yang penuh lumpur.


Sembilan tahun pertemanan kami sejak pertama kali aku pindah ke kampung ini, dia orang yang selalu menemaniku. Dia juga yang pertama kali menyapaku. Ah, Sanusi itu memang anak yang baik dan selalu ramah pada semua orang. Tidak seperti aku yang pendiam dan pemalu.


“ Pak, permisi, mau ambil bola.” Seorang bocah berusia sekitar 10 tahun menghampiriku. Ia menunjuk ke bawah kakiku.


Aku melihat ke bawah dan ternyata ada bola plastik yang berhenti tepat di dekat kakiku. Aku mengambilnya dan memberikannya pada bocah itu.


“ Terima kasih, Pak!” ujarnya riang. Lalu kembali bermain bersama beberapa anak kecil yang entah sejak kapan sudah ada di sekitar playground.


“ Aku pengen jadi orang sukses, Bur.” Ujar Sanusi di satu hari sore, saat kami pulang sekolah sambil menikmati es lilin yang kami beli dari warung di depan sekolah. Ia mengatakan kalimat itu dengan mata berbinar dan penuh keyakinan. Bahkan sepertinya sesaat ia melupakan es lilin yang ada ditangannya.


“ Yah, San. Kita udah lulus STM dan dapat kerja saja itu sudah hebat. Memang mau sukses kayak apa? Konglomerat? Jadi jutawan??”


Sanusi menggigit es lilinnya dan tersenyum padaku penuh arti. 


“ Aku mau buka usaha sendiri, Bur.”


“ Usaha apa? Memang kamu tau buat dapat modal darimana?”


“ Aku sudah memikirkannya, Bur. Aku akan bekerja di bengkel orang buat belajar memperbaiki motor. Tapi ga cuma itu, aku mau belajar semua tentang usaha bengkel. “


Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tak percaya. Kuhabiskan es lilin rasa kacang hijau yang ada di tanganku dan membuang lidinya ke tempat sampah rumah orang. 


“ Kenapa menggeleng-geleng?” tanya Sanusi, dengan agak tersinggung.


“ Habis kamu aneh. Namanya kerja sama orang, ga mungkin bisa langsung punya usaha.”


“ Kenapa ga bisa?”


“ Ya ga bisa aja. Namanya bawahan, pasti akan selalu jadi bawahan. Gimana caranya bisa belajar banyak. Emangnya bos kamu nanti mau bantuin kamu? Ngajarin kamu? Mana mau mereka begitu! ”


Sanusi tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya diam sambil menghabiskan sisa es lilinnya. Sejak itu dia tidak pernah membahas mimpinya lagi.


Aku pun lebih senang begitu. Aku tidak ingin melihat Sanusi kecewa karena mimpinya yang tinggi ternyata sulit di capai. Seperti Bapakku yang selalu bermimpi jadi penulis ternama, tapi sampai meninggal pun dia tidak menulis apa pun. Beliau hanya membicarakan mimpinya tanpa pernah memegang pena. Sampai mati pun Bapak hanya jadi penulis yang bermimpi tanpa memiliki karya.


Hmmm.. Tapi sebenarnya Sanusi berbeda dari Bapak. Walau pun Sanusi tidak pernah membicarakan mimpinya lagi sejak pembicaraan kami itu, toh dia benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Ia bekerja di salah satu bengkel besar di pasar dan banyak memperhatikan pekerjaan senior-seniornya di sana. Tidak jarang pula ia meminjam buku-buku tentang mesin dari perpustakan daerah. Lebih parah lagi, dia sering mempreteli motor bekas yang dibelikan emaknya sebagai hadiah kelulusan hanya untuk melihat sperpat dan bagaimana mesin motor bekerja. 


Beda jauh sama aku yang lulus STM malah sibuk pacaran dan pengen cepet-cepet ngawinin Wati, pacarku waktu itu. Tapi ngawanin anak orang memang tidak bisa bermodal dengkul. Orang tua mana yang mau mempercayakan anak gadisnya pada orang yang kerja saja belum pernah. Uang saja mintanya dari orang tua.


“ Memangnya kamu punya apa? Kamu sudah kerja apa?” tanya bapaknya Wati pada satu hari saat aku memberanikan diri mengatakan isi hatiku yang ingin meminang Wati.


Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang terasa hanya panas di hati karena merasa direndahkan. Orang tuaku memang bukan orang kaya, tidak seperti orang tua Wati yang punya rumah berdinding semen dan punya motor 2.


Omongan bapaknya Wati membakar hatiku dan ingin memberikan pembuktian. Tapi mau membuktikan apa? Aku benar-benar tidak punya apa-apa, kerja pun tidak. Di rumah ada sepeda ontel yang biasa digunakan Bapak untuk pergi ke sawah. Tapi kalau saya membawa sepeda itu, pasti akan ditertawakan.


Mungkin itulah awal dari masalah di antara kami berdua.


Entah dapat ide dari mana, aku berpikir untuk meminjam motor dari bengkel dimana Sanusi bekerja. Apalagi di bengkel itu banyak motor-motor keren yang pasti akan menaikan gengsiku. Sanusi sebagai sahabat yang baik pasti akan mengijinkan aku meminjamnya.


“ Ga bisa, Bur. Mana boleh aku membiarkan motor pelanggan dipinjam. Ga bisa!”


Sanusi menolak mentah-mentah permintaanku. Menyulut api amarahku semakin besar. Sebagai seorang teman sudah seharusnya dia membantuku, begitu pikirku dulu. Dia sama sekali tidak mengerti posisiku.


“ Diomongin seperti itu ya kamu cari kerja, bukannya ngebohong dengan pinjam motor orang.” Nasehatnya saat itu waktu kuceritakan bagaimana bapaknya Wati memperlakukanku. Nasehat yang terdengar seperti omelan yang merendahkan bagiku.

Sayangnya, darah mudaku sangat sulit diredam. Akal budiku masih belum mampu menaklukkan harga diriku dan melembutkan hatiku. Kalau Sanusi tidak mau menolongku maka aku mencari-cari cara untuk menolong diriku sendiri.


Aku tidak ingat bagaimana aku bisa memikirkan ide untuk menduplikat kunci bengkel tempat Sanusi bekerja. Bagaimana aku bisa meminjam kunci itu yang tergantung bersama kunci-kunci Sanusi yang lain. Aku meminjamnya dan menduplikatnya. Sanusi tidak curiga sama sekali. Ia sangat percaya padaku.


Pada saat malam tiba, semua orang sudah tertidur dan terlelap. Di saat penjaga bengkel tampak sangat mengantuk dan memutuskan untuk menunggu di ruang dalam mes. Saat itu aku pun masuk ke bengkel dan mengambil motor terbaik yang aku lihat.


Saat itu sepertinya Tuhan mendukung perbuatanku. Aku tidak pernah mencuri, aku juga tidak biasa mengendap-endap, tapi hari itu aku merasa apa yang aku lakukan begitu lancar dan mulus.


Esok paginya, aku muncul di depan rumah Wati dengan ‘motor baruku’. Bapaknya tidak banyak bicara, hanya memicingkan matanya dengan curiga. Wati malah tidak curiga sama sekali. Ia langsung duduk di boncengan dan melambai pada bapaknya dengan bangga.


Dadaku membusung waktu melihat muka bapaknya Wati saat itu. Rasa bangga karena bisa menunjukkan kalau saya ini tidak miskin-miskin amat. Kebanggaan yang berakhir dengan penyesalan.


Drrrtttt…Drrrrttt…


Tiba-tiba hpku yang disilent bergetar. Aku merogohnya dari kantong kemejaku dan melihat ternyata ada sms dari istriku. Aku membuka dan membacanya.


- Bgmn, Pak? Sdh ktmu mas Sanusi? Ap ktnya? –


Istriku pasti gelisah dirumah. Sudah dari pagi aku keluar untuk mencari rumah Sanusi, tapi yang kudapat nihil. Sekarang aku tidak tahu harus mencari dimana.


“Pak Sanusi apa kabar?!”


Aku terdiam mendengar suara di belakangku. Ada dua orang yang saling menyapa dan salah satu namanya membuatku tersentak. Aku menoleh dan melihat 2 orang sedang berbincang-bincang di depan rumah besar itu.


“ Kok, tumben Pak Sanusi yang anter langsung? Anak buahnya mana?” tanya pria paruh baya yang berdiri di samping pria lain sambil mengamati, entah mesin apa, yang ada di atas truk barang.


“ Iya, ada anak buah yang lagi sakit. Ini saya juga mau sekalian pengen ketemu Pak Hardiman.” Jelas pria satu lagi, sambil tersenyum lebar.


Pria itu menoleh ke arah rumah besar dan tampak diam beberapa saat. Terlihat jelas ia sedang mengenang sesuatu yang membuat ia merasa sedih. Entah kenangan apa.


“ Ayo, silahkan masuk, Pak.”


“ Loh, ada satpam baru? Pak Dido kemana?” tanya pria itu saat satpam yang tadi saya tanyakan tentang alamat Sanusi, membuka pagar rumah selebar-lebarnya agar truk barang itu bisa masuk.



“ Pak Dodi pulang kampung. Mau pensiun. Toh, anak-anaknya sudah jadi orang semua.” Jelas pria paruh baya itu pada si pria berkumis.


Pria berkumis itu tertawa dan mengangguk-angguk mengerti.


Kumisnya memang tebal. Ubannya pun sudah hampir menutupi sebagian besar kepalanya, tapi aku tidak mungkin salah mengenal. Itu Sanusi. Mata dan cara dia tersenyum, aku sangat mengenalnya.


“ Sanusi!!” aku memanggil dengan suara parau. Sanusi tidak menoleh. 


“ Sanusi!!” aku memanggil lebih keras dan lebih tegas. Sanusi menoleh. 


Beberapa saat ia mencari-cari orang yang memanggil namanya dan akhirnya ia melihat ke arahku. Senyuman yang tadi ada di wajahnya karena obrolan dengan pria paruh baya itu tiba-tiba menghilang.


Aku berlari mendekatinya dan berdiri di hadapannya.


“ Burman…” Sanusi menyebut namaku pelan. Aku senang ia mengingatku. Ternyata dia tidak melupakanku.


“ Kamu masih ingat aku, Sanusi?” tanyaku dengan gembira. Sanusi tidak langsung menjawab, wajahnya malah tiba-tiba mengeras dan menatap mataku dengan tajam.


“ Bagaimana bisa aku tidak ingat?” 


Lama aku baru menyadari kalau Sanusi menanggapi pertemuan teman lama ini tidak sesenang diriku. Aku bisa melihat rahangnya yang mengeras seperti menahan sesuatu dari mulutnya. Sekilas aku melihat tangannya mengepal. Dia marah.


Apa dia marah atas perbuatanku yang dulu? Bukankah aku sudah mengembalikan motor itu? Aku langsung mengembalikan motor itu padanya dan memberikan kunci duplikatnya pada Sanusi. Aku melakukannya tepat seperti yang ia minta.


“ Sanusi??”


“ Burman…” Sanusi menyebut namaku lagi lalu menelan ludah dengan susah payah.


Satpam dan pria paruh baya yang ada di belakangnya berdiri agak jauh sambil terus tetap mengawasi kami. Aku merasa tidak enak. Sangat tidak enak.


“ Kemana saja kamu setelah mengembalikan motor itu?” tanya Sanusi dengan nada yang aku tahu pasti, ia berusaha mengendalikan suaranya dengan susah payah.


“ Aku pergi ke Jakarta dan tinggal bersama pamanku. Aku mencoba mencari pekerjaan seperti yang kau katakan.” Jelasku, berusaha membuatnya senang. Padahal sebenarnya aku pergi ke Jakarta untuk lari dari amarah Sanusi, Wati dan bapaknya. Aku ketahuan meminjam motor tanpa ijin dahulu. Istilahnya aku ini maling.


“ Kenapa kamu pergi tanpa bilang-bilang? Kenapa pula kamu tidak mengatakan soal kecelakaan itu?” 


“ Kecelakaan?” kali ini aku bingung dengan apa yang dikatakan Sanusi. Kecelakaan apa? Dimana? Kapan?


“ Bukankah dengan motor itu kamu membuat anak orang kecelakaan sampai mati??!” Nada suara Sanusi meninggi. Ia tidak terima dengan ketidak tahuanku.


“ Kamu ini bicara apa??” tanyaku bingung dan aku benar-benar bingung. Aku tidak tahu apa-apa.


“ Kamu memakai motor itu dan membuat anak orang celaka sampai mati. Kamu tinggalkan motor itu di rumahku dan aku jadi tersangka kecelakaan itu. Itu yang aku bicarakan!”


Tiba-tiba saja aku merasa limbung. Jadi, setelah aku pergi ke Jakarta ada kejadian itu?? Tapi aku tidak pernah mengalami kecelakaan.


“ Anak itu terseret di belakang motormu dan kamu tidak peduli. Kamu juga tidak menghentikan motornya. Saat dia terlepas, kamu malah biarkan dia di jalan dan membuat mobil lain menghantamnya. Begitu kan kejadiannya!!”


Kepalaku terasa kosong mendengar kata-kata Sanusi. Aku mundur beberapa langkah dan berusaha mengingat apa yang dikatakan Sanusi. Aku pun mengerti.


Ya, saat aku meminjam motor itu aku mendengar ada kecelakaan di belakangku. Aku menoleh, tapi tidak terlalu peduli. Aku terburu-buru… 


Tali itu…Tali yang tersangkut di motor. Mungkinkah tali itu yang membuat anak itu terseret motor?? Tapi bagaimana bisa aku tidak mendengar ada anak kecil di belakangku? Tidakkah seharusnya anak itu berteriak??


“ Aku.. Aku tidak tahu…” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. 

Sanusi masih menatapku dengan tajam, tangan mengepal dan nafas yang semakin memburu.

“ Kamu memang tidak pernah tahu apa pun. Gara-gara kamu Emak mati! Gara-gara kamu kami kehilangan tanah dan rumah!! Gara-gara kamu, aku harus ada di dalam penjara padahal aku tidak bersalah!”


“ Emak mati??!” Aku tersentak mendengar seruan Sanusi. 


Perutku bergejolak seperti ingin memuntahkan sesuatu, terlalu banyak hal yang membuatku terkejut. Lebih parahnya aku tidak mengerti dengan semuanya.


“ Warga membakar rumah kami. Emak ada di dalam!! Kamu mau taggung jawab apa??!!”


Kakiku lemas dan tanpa sadar aku berlutut di hadapan Sanusi. Wajah Sanusi merah padam, wajahnya basah oleh air mata. Ia seperti meledakkan semua bom yang ia tanam di dalam dirinya bertahun-tahun lalu.


“ Sanusi…Maafkan aku…” bisikku parau. 


Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya dengan keras. Ia mengusap air matanya dengan cepat dan langsung menghadap ke arah pemilik rumah. Ia berbicara pelan lalu kembali menghadapiku.

“ Tolong, jangan perlihatkan wajahmu lagi.”


“ Sanusi…Maafkan aku Sanusi!!”


Sanusi tidak menerima permohohan maafku. Ia hanya berjalan masuk bersama pemilik rumah. Pemilik rumah masih melihat ke arahku sesekali, tapi Sanusi tidak mau menoleh sama sekali.


“ Sanusi!! Maafkan aku Sanusi!!”


“ Pak, maaf. Permisi, kami harus mengangkat mesin ini ke dalam. Kalau Bapak di situ, bahaya.”


Satpam tadi memintaku untuk minggi dari tengah jalan. Ia dan salah satu anak buah Sanusi mengangkat sebuah mesin berat yang sepertinya mesin cetak.


“ Maaf…”



Dengan lemas aku berdiri dan minggir dari jalan si satpam dan pegawai Sanusi. Aku masih berdiri di tempatku, berharap Sanusi keluar dari rumah besar itu. Aku harus meminta maaf padanya…Aku…



Aku memalukan…Bisa-bisanya. Apa yang telah aku lakukan!? Aku menghancurkan hidup Sanusi dan sekarang aku ingin meminta pertolongannya. Bagaimana bisa? Dia memaafkan aku saja adalah sebuah berkah!!


Sanusi…Maafkan aku..Maafkan aku…


***


Wajah istriku tampak pucat mendengar ceritaku. Ia menutup mulutnya menahan keterkejutannya. Aku menceritakan semuanya yang aku baru tahu dari Sanusi dan ia tampak sangat takut.


“ Dia tidak akan melaporkan Bapak ke polisi kan?!” tanyanya panik.


Aku menggeleng lemah. Aku sangat yakin Sanusi tidak akan melaporkanku. Dia bukan orang yang seperti itu. Kalau tidak, dia sudah melakukannya sejak dulu.


“ Pak, lalu kita bagaimana? Minggu depan Pak Romli akan datang menagih hutang. Kita tidak mungkin menjual semua barang-barang kita kan?!”


Istriku melihat sekeliling rumah. Televisi, dvd player, kulkas, mesin cuci…Ia takut kehilangan itu semua. Begitu pula aku. Kalau semua harta kami diambil, kami benar-benar akan jatuh miskin.


Hutang kami tidak seberapa. Hanya 20 jutaan, tapi kepada siapa kami berhutang yang membuat kami dalam bahaya. Pak Romli adalah lintah darat yang tidak main-main dengan kata-katanya. Kalau dia mengancam akan melapor polisi, pasti akan dia lakukan.


“ Kamu memang tidak pernah tahu apa pun. Gara-gara kamu Emak mati! Gara-gara kamu kami kehilangan tanah dan rumah!! Gara-gara kamu, aku harus ada di dalam penjara padahal aku tidak bersalah!”


Kata-kata Sanusi terngiang-ngiang ditelingaku. Aku gelisah…


TOK! TOK!


Pintu rumah kami tiba-tiba diketok. Aku dan istriku saling pandang. Istriku tampak sangat ketakutan. Ia takut algojo Pak Romli datang lagi. Tapi tidak mungkin, karena mereka baru datang kemaren.


“ Permisi!” Sebuah suara berseru. Suara yang terdengar tidak mengancam. 


Aku memberi tanda pada istriku untuk membukakan pintu dan dengan ragu-ragu ia membukakan pintu. Di depan pintu seorang anak muda yang sepertinya pernah kukenal.


“ Selamat siang, Pak.. Bu..” sapanya sopan dan ramah.


Cepat-cepat aku pergi ke pintu dan menghadapinya. Dengan senyum lebar, ramah, ia menyodorkan sebuah amplop yang isinya cukup tebal.


“ Ini dari Pak Sanusi. Dia menitipkan ini untuk, Bapak.”


Aku menatap anak muda itu, bingung. Ia menggoyangkan amplop yang ada di tangannya, pelan agar aku segera mengambilnya. Aku baru ingat..Anak muda ini adalah pegawai Sanusi yang membantunya mengangkat mesin waktu aku ada di rumah Sanusi yang lama.


“ Oh, iya. Apa ini?” tanyaku bingung.


“ Tidak tahu, Pak. Dibuka saja. Saya hanya ditugaskan untuk menyampaikan pesan ini.”


Aku mengangguk pelan dan menerimanya dengan agak takut. Jangan-jangan Sanusi mengirimkan sesuatu yang akan membuatku menyesal seumur hidup.


“ Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Tuhan memberkati.”


Aku mengangguk pelan dan agak tertegun dengan kata-kata terakhir anak muda itu. Tuhan memberkati? Semoga saja.


“ Pak, apa itu?!” istriku bertanya dengan wajah semakin panik dan ketakutan. Ia meremas-remas dasternya gelisah.


“ Tidak tahu..” 


Perlahan aku membuka bungkusan itu. Aku tidak yakin dengan apa yang aku lihat. Kukeluarkan beberapa lembar dan jantungku terasa copot melihat lembaran uang seratus ribuan ada di tanganku. Aku terduduk lemas dan bingung. 


Apa maksudnya ini?!!


“ Uang! Uang,Pak!”


Istriku menyambar amplop itu dan mengeluarkan semua isinya. Matanya terbelalak tidak percaya. Ia tersenyum sangat puas dan lega.


“ Kita ga perlu dipenjara, Pak!” serunya penuh kebahagiaan dan kelegaan. Sementara aku semakin lemas dan tidak tahu harus berkata apa. 


Beginikah cara Sanusi menghukumku? Membuat aku berhutang lebih banyak padanya??


“ Pak, ada suratnya.” Istriku menyodorkan sebuah amplop putih yang ditutup dengan rapih. Aku langsung menyambar dan membukanya. Tak kupedulikan uang yang menumpuk di atas meja.


“ Surat dari Sanusi…”



Kepada 


Teman Lamaku Burhan

Bur, maafkan aku kemarin. Aku harap kau maklum keadaanku. Aku begitu marah padamu. Apa yang kau lakukan beberapa tahun yang lalu membuatku terluka sangat dalam. Bahkan sampai saat ini pun aku masih belum bisa melihat wajahmu…Maaf…

Tapi aku hanya ingin kamu tahu, Bur. Aku sudah memaafkan dan mengampunimu. Sudah lama aku memutuskannya, tapi ternyata memang tidak mudah. Melihatmu benar-benar ada di depanku, membuatku terkejut dan rasa kecewa dan pahitku muncul lagi. 

Apa yang aku alami memang sangat menyakitkan, Bur..Tapi Tuhan itu baik. Semua hal buruk itu ia jadikan kebaikan. Saat keluar dari penjara, bos dimana aku bekerja malah mengadopsi aku dan membiayai aku agar aku bisa kuliah. Sebagai gantinya aku harus bekerja padanya selama beberapa tahun. Ternyata selama bekerja pun Beliau mengajarkan banyak hal padaku. Sekarang, berkat bantuan Beliau aku bisa membangun usahaku sendiri. Jika bukan semua kesakitan itu, aku tidak akan sampai seperti ini, Bur. Tuhan itu baik, Bur.

Aku mendengar cerita tentangmu dari satpam kolegaku yang kemarin. Aku menyuruhnya menanyakan urusanmu untuk datang dan alamatmu. Aku tidak tahu kalau hidupmu begitu sulit. Ini ada sedikit uang yang bisa kau gunakan untuk melunasi hutang. Anggap saja sebagai hadiahku sebagai tanda pertemuan antara teman lama.

Aku ingin memiliki hubungan yang baik kembali denganmu, Teman. Jika kamu berpikir hal yang sama, tolong temui aku di stasiun kota besok jam 3 sore. 

Tuhan memberkati.



Teman Lamamu


Aku melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop dengan perasaan lega dan haru. Sanusi mengampuni dan memaafkan aku. Bahkan dia memberikan uangnya untuk membantuku. Dia seperti malaikat…

“ Pak…Bapak baik-baik saja?”

Dia malaikat. Tidak seperti aku yang seperti penjahaaattt….

Aku melihat tumpukan uang di atas meja dan dengan kalap kumasukan semuanya ke dalam amplop.

“ Pak, uangnya mau dibawa kemana?” Tanya istriku, panik.

“ Mau dikembalikan.”

“ Gimana bisa!? Ini kan dikasih buat bantu kita bayar hutaaangggg! Pak, jangan dikembalikannn!!”

Istriku panik dan mulai histeris. Wajahnya tampak ngeri melihat apa yang aku rencanakan dan lakukan.

“ Bu, kita berhutang harus bayar juga. Kita harus berani hidup menderita supaya bisa melunasi hutang kita.”


“ Tapi, Pak…Nanti barang-barang kita diambilll!! Kita mau hidup dengan apa??!! Rumah kita bakal kosong melompong!!” teriak istriku panik dan mulai menangis histeris. 

Istriku adalah anak dari seorang pedagang kaya. Ia tidak terbiasa hidup susah. Sekarang ia harus menghadapi hidup yang terancam miskin, sudah pasti ia sangat frustasi.

Aku mendekati istriku dan memeluknya erat sampai ia merasa tenang.

“ Bu, yang penting kan masih ada rumah. Bapak akan cari pekerjaan dan kita beli barang-barang baru. Ya, Bu.”

Istriku tidak menjawab. Ia tertegun dan membiarkan air mata mengalir deras di pipinya. Kekecup keningnya, lembut dan bergegas aku ke pintu.

Istriku mengikutiku dan memandangku dari pintu.

“ Hati-hati, Pak.” Ujarnya lirih. Aku mengangguk, pelan dan bergegas pergi ke alamat yang tertulis di amplop. Perusahaan milik Sanusi.

Sanusi, sudah cukup bagiku membiarkan orang lain ‘mencuci’ kesalahanku. Sekarang waktunya aku menghadapi setiap akibat dari tindakanku sendiri. Maafkan aku Sanusi…Seharusnya aku belajar darimu sejak dulu, teman lamaku.

***

Trakteer cendol untuk Pak Burman, biar tobatnya lancar. 



0 Comments