Kapal Kawan: Luka Shani

  Warning!!!

Cerpen ini mungkin akan membangkitkan trauma. 

Sebaiknya hati-hati atau stop jika ada tanda-tanda terpicu.

—-------------------------------------------

"Scrolling twitter lagi lo, Ra?"
Tepokan pelan Shani di bahu Dara membuatnya sedikit tersentak. Shani duduk di sebelahnya dan mencomot satu kerupuk kulit yang Dara tidak habiskan.

"Pak, mau bakso telornya 1 porsi, pakai bihun aja." serunya pada Pak Jaja si penjual bakso di kantin sekolah.

Tanpa menjawab, Pak Jaja mengangkat jempolnya dan kembali sibuk melayani siswa lain yang sudah memesan lebih dulu.

"Lagi baca apa sih lo? Muka serius banget." Shani melirik ke arah hp Dara dan melihat aplikasi twitter yang sangat ia hindari.

Shani mendengus pelan dan memasukan kerupuk kulit terakhir, sisa an Dara.

"Masih baca Twitter aja lo? Nyari bokep lo ya?"

"Anjir.. Ya kagaklah." Dara mendelik tidak terima tuduhan Shani yang membuat harga dirinya jadi terasa rendah.

"Gw lagi baca topik cewe dicerai lakinya. Padahal baru 2 bulan nikah," jelas Dara sambil menyodorkan hpnya pada Shani supaya ia membacanya dan menjadi lebih jelas.

Shani membaca thread itu sebentar dan mendengus lagi. Bibirnya tersenyum, meledek.

"Baguslah dicerai. Daripasa hidup sama laki yang ga punya prinsip kayak gitu."

Shani mengembalikan hp Dara dan tak melanjutkan bicaranya. Ia menatap ke arah Pak Jaja dengan pandangan lurus. 
Dara kira ia sedang tidak sabar menunggu bakso pesanannya, tapi ternyata dia sedang melamun. Tatapan matanya kosong, pikirannya jauh menerawang.

" Lagi mikirin apa sih lo Shan?"  tanya Dara sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Shani.

"Ha? Kagak. Cuma mikirin cara dapet koleksi photo card Black Pink yang baru." jelas Shani, ngasal.

"Gara-gara topik kayak yang tadi itu, orang jadi banyak yang takut nikah tahu Shan." Dara masih mau membahas apa yang ia baru baca.

"Padahal kan pernikahan ga semengerikan itu.  Bonyok gw masih rukun-rukun aja tuh. Padahal udah 23 tahun nikah." cerocos Dara dengan dahi mengkerut.

"Orang harusnya ga ambil kesimpulan dari sedikit kasus..."

"Ya, sama ajalah Ra. Pernikahan bonyok lo adem ayem itu juga sedikit kasus. Banyak orang nikah lama, tapi ternyata ga happy.  Bisa jadi bertahan buat anak-anaknya aja atau takut ga dapet suntikan dana..."

Dara terdiam mendengar ucapan Shani yang memotong kalimatnya. Entah kenapa nada bicara Shani seperti sedang menekan mulutnya supaya diam.

" Tapi.. Nyokap gw kan kerja... " bantah Dara, ragu.

" Ya, gw juga bukan lagi ngomongin bonyok lo. Gw ngomongin orang lain yang nikah lama. Bonyok gw nikah lumayan lama, cerai juga."

"Iya, tapi kan ga semua berujung cerai.."

"Ya kagaklah. Tapi bukan berarti baik-baik aja. Lo ga tahu bagian dalem kapalnya bocor atau ga. Bisa jadi orang-orang di dalemnya lagi usaha biar kapalnya ga karam.. Ya kan??"

Dara tak membalas kata-kata Shani. Getaran suara menahan emosi di akhir kalimat Shani membuatnya mengunci mulutnya rapat. Waktunya ganti topik pembicaraan.

" Eh, bakso lo udah jadi tuh.." seru Dara, terlalu bersemangat. Pak Jaja meletakkan mangkok terisi penuh bakso di depan Shani. Shani mengangguk pelan, tanda terima kasih. Ia segera meracik baksonya tanpa bicara lagi.

Dara pun tidak bicara. Ia merasakan atmosphere dingin tiba-tiba membungkus ia dan Shani. Dara merasa harus meminta maaf pada Shani tapi ia pikir harusnya Shani tidak perlu sesensitif itu. Apalagi ia terkesan menyerang pendapat Dara.

Lagipula, orang tua Shani sudah lama bercerai. Harusnya dia sudah berdamai dengan perceraian itu. Dia juga sudah punya ayah baru yang bisa membiayai hidupnya dan ibunya. Ayah sambungnya tidak seperti ayahnya yang dulu tidak bisa menafkahi keluarganya.

Memikirkan cara bicara Shani tadi, entah kenapa Dara merasa gondok.

Dara menghela napasnya pelan, mencoba meredakan ketegangan di rongga dadanya.

Bukan sekali dua kali Shani suka mendebat Dara dengan nada menyerang. Dara sering merasa dianggp bodoh dan dianggap rendah dengan cara bicaranya tapi entah kenapa Dara tidak bisa menjawab. Semua yang Shani katakan benar.

Dara menghembuskan napasnya lagi. Ia tidak suka punya perasaan seperti ini pada sahabatnya.

"Mau ga? Aaaa..."

Tiba-tiba saja sebuah bakso sudah ada di depan wajah Dara. Shani yang menyodorkan bakso itu membuka mulutnya, mendorong Dara supaya mau menerima pemberiannya.

Dara membuka mulutnya, ragu. Saat bakso itu masuk ke mulutnya dan mulai mengunyah, air wajah Shani terlihat cerah. Ia menyeringai lebar lalu mencubit pipi Dara pelan.

"Apaan sih?"  bisik Dara, sambil tersenyum, malu.

Rasa sesak di dadanya seketika lenyap. Melihat sikap Shani yang mencair, ia tahu Shani baik-baik saja.

Hanya saja, ada yang menggantung dalam pikirannya. Benarkah Shani baik-baik saja??

***

"Mami pulangg!"

Dara berlari kecil ke arah pintu depan rumah mendengar suara ibunya.

"Udah pulang, Mi?" tanya Dara sambil cengengesan. Matanya memandang kantong belanjaan ibunya penuh harap.

"Hilih, Mami baru nyampe udah ngarep oleh-oleh. Nihhh!!"

Wanita 40an itu menyodorkan kantong di tangannya pada anak gadis sulungnya itu. Dara melompat kecil saking senangnya.

Martabak dari dekat kantor ibunya adalah yang terbaik. Dara sudah memesannya dari tadi pagi dan menunggunya dengan tidak sabar.

"Papi mana?"  tanya ibunya sambil meletakkan tas laptopnya di sofa.

"Lagi pergi sama Jaka beli bahan prakarya. Mau dibawa besok," jawab Dara sambil tetap fokus membongkar plastik merah dan mengeluarkan 2 kotak martabak. Satu martabak telor dan satu lagi martabak manis coklat, kacang, wijen.

Dengan tidak sabar Dara membuka kotak martabak manis dan mengambil 1 potong. Ia memasukkan potongan martabak itu ke mulutnya dan mengigitnya pela.  Cairan berminyak, gurih langsung tercecap dilidahnya. Kunyahan ke dua, ke tiga dan seterusnya mengeluarkan rasa manis dan gurih yang menari-nari di rongga mulutnya. Aroma wijen menerobos masuk ke hidungnya dan membisikkan kata 'Enak'  ke pusat otaknya.

"Enak banget kayanya sampai merem melek? Mami mau."

Tanpa menunggu persetujuan Dara, ibunya mengambil 1 potong dan menikmatinya sambil terus bergumam.

"Emang enak banget ini martabak. Ga jualan 1 bulan aja berasa bertahun-tahun. Yang kemarin kita beli di tempat lain, ga enak banget."

Dara mengangguk setuju sambil mengambil 1 potong lagi dan melahapnya penuh semangat. Mungkin dia akan makan 5 potong lagi.

" Iya, aku tuh milih nikah pas udah siap aja. Ga maulah nikah muda. Takut salah milih pasangan. Ga perlulah buru-buru."

Suara merdu artis, Pamela yang sedang diwawancara membuat Dara berhenti mengunyah. Ia menoleh ke arah hp ibunya yang sedang asyik menonton Youtube.

" Nonton apa Mi?" tanya Dara,  penasaran. Ia teralihkan dari martabak yang ada di tangannya.

" Ini, Tonight Show. Lagi ada bintang tamu Pamela sama Tigor. Mereka kan digosipin pacaran. Kayaknya sih gosip aja."

" Kok si Pamela bahas-bahas nikah??"

" Tadi lagi ditanya, kira-kira mereka setuju ga sama nikah muda."

" Ohhh.." Dara bergumam pelan. Ia mengunyah pelan martabak di mulutnya.

Otaknya memikirkan kejadian tadi siang di kantin sekolah. Bagaimana ia dan Shani menjadi tegang karena membahas tentang pernikahan.

" Kenapa, Ra? Abis bikin dosa apa?" tanya ibunya melihat Dara yang tiba-tiba tidak bersemangat dengan martabak di tangannya.

"Ih, Mami apaan sih?"  Dara memonyongkan bibirnya tidak terima dengan pertanyaan ibunya. Ia memasukkan potongan kecil martabak di tangannya dan mengunyahnya dengan cepat.

" Mi, Mami tahu kan kalau Shani ortunya udah cerai?"

"Iya tahu. Kenapa?" ibunya menjawab tanpa menoleh dari hpnya. Ia menunggu Dara menlanjutkan pertanyaannya, tapi pertanyaan selanjutnya tidak terdengar. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Dara yang tampak ragu untuk bicar.

" Kenapa Ra?"

" Hmmm.. Tadi siang tuh Dara sama Shani bahas soal pernikahan."

" Terus?"

" Hmmm.."

" Kamu mau nikah muda?"

" Bukaaan... Ih, Mami..."

" Teruss?"

" Dara tuh bahas kalau ada cerita pernikahan yang berakhir cerai bukan berarti ga ada pernikahan yang bisa sampai maut memisahkan. Terus Dara bilang,  kita ga bisa simpulin suatu hal hanya dari kasus tertentu. Kayak Mami sama Papi kan bisa nikah sampai sekarang dan bahagia-bahagia aja."

" Terus? "

" Shani langsung ngejawab Dara. Dia bilang kalau Dara ya sama aja. Nyimpulin suatu hal dengan kasus tertentu... Cara dia ngomong kayak nyudutin Dara...Dara jadi ngerasa gimana gitu.. "

" Ohhh... "

" Tapi kita berdua udah baik-baik aja, Mi."

" Ya, baguslah kalau udah baik-baik aja.  Terus masalahnya apa?"

" Itu... Shani kan ortunya udah 8 tahun cerai.  Sekarang juga udah punya ayah yang lebih baik. Harusnya dia ga sensitif itu kan, Mi?"

Ibunya menegakkan duduknya dan bersiap menyampaikan sesuatu.

" Suara Shani sampe gemeter lohh Mi pas dia ngomong. Padahal itu kan pembahasan yang ga terlalu serius. Cuma diskusi biasa."

Dara mencoba mempertahankan pendapatnya. Melihat ekspresi ibunya, ia tahu akan mendapat wejangan. Berarti apa yang ia pikirkan tidak benar di mata ibunya.

" Ra, inget ga waktu kecil kamu kaget sampe nangis lama gara-gara balon meledak deket Dara?"

Dara tercenung tidak berani menjawab.  Ia bisa menangkap arah pembicaraan ibunya. Seketika benteng logika di kepalanya luruh.

" Sampai sekarang pun Dara masih takut balon kan? Sama kayak gitu. Buat orang yang ga ngalamin 8 tahun itu lama. Tapi buat orang yang punya trauma, kejadiannya kayak baru kemarin. Tiap dibahas kayak luka yang dikorek-korek lagi. Mereka akan meraung kesakitan lagi karena lukanya belum sembuh benar."

Dara menatap mata ibunya dalam. Di dalam kepalanya terbayang wajah Shani yang beberapa kali Dara lihat tampak lesu dan muram. Tidak jarang pula seperti menahan tangis.

" Kamu, sebagai temannya.. Cukup di sisinya aja. Temanin. Ga perlu dinilai. Tunjukin aja kalau kamu peduli sama dia dan mau yang terbaik buat dia."

Entah dirinya yang memang bodoh atau tidak peduli, Dara sadar selama ini tidak benar-benar memberi perhatian penuh pada Shani untuk mendukungnya atau sekedar benar-benar bertanya tentang isi hatinya.

Besok, besok Dara akan mengajaknya bicara dari hati ke hati.

" Lukanya bisa sembuh, Mi?"

" Bisa. Walau membekas tapi pasti bisa. Kita yang ada di sekelilingnya yang harus sabar membantunya melewati masa pemulihan."

Dara menarik napasnya yang tiba-tiba menjadi berat. Ia ingin memeluk Shani dan mendukungnya.

Besok. Ia akan memberikan pelukan terhangat untuk Shani.

***

Sudah berkali-kali Dara mengecek hpnya tapi tidak ada balasan dari Shani. Sejak semalam Dara chat Shani tapi chatnya hanya centang satu.

Sekarang Dara berdiri di depan pintu kelas Shani. Ia sudah menengok beberapan kali ke dalam kelas, tapi Shani tidak ada.

" Tan,  liat Shani ga?"  tanya Dara pada cewe berambut bob yang baru akan masuk kelas.

" Tadi pas gw baru nyampe sih dia bilang mau ke toilet."

" Ok, makasihhh.."

Dara segera bergegas ke toilet murid perempuan yang ada di dekat kantor guru. Ia berharap Shani tidak menyimpan marah atas sikapnya kemarin.

" Ih, gila sih. Kok bisa ga sadar sih. Dari kemarin gw juga ga liat loh perut dia gede."

" Iya,  ga keliatan. Gw juga ga liat."

Obrolan dua orang yang berjalan dari arah toilet mencuri perhatian Dara. Mereka bertemu pandang dengan Dara dan tiba-tiba berbisik-bisik.

Ada apa?

Dara sudah di dekat toilet tapi pintu masuknya terhalang. Ada banyak orang di dalam yang tampak terkejut tapi juga ingin melihat sesuatu.

" Dara! Sini cepetan! Shaniii.."

Salah satu dari murid, teman sekelas Dara memanggil dan menyuruh Dara segera masuk ke toilet.

Mendengar nama Shani, Dara langsung menerobos kerumunan dan berjalan ke arah bilik yang menjadi pusat perhatian.

Semua orang langsung terdiam melihat Dara dan membuka jalan untuknya.

Darah..

Langkah kaki Dara tertahan saat melihat jejak-jejak darah. Kakinya mendadak lemas tapi ia berusaha kuat. Ia takut melihat apa yang ada di dalam bilik toilet. Ia takut Shani mencoba untuk bunuh di...

Dara hampir jatuh terduduk jika orang-orang di belakangnya tidak menahannya. Kakinya seperti menghilang.

Ba... Bayi.. Itu bayi??

Di depan matanya Shani terduduk lemas, bersandar di dinding toilet. Wajahnya pucat seperti mayat. Di pangkuannya bayi yang masih tersambung tali pusar tampak tak bergerak.

" Shaniii..."

***

" Bayinya ga bertahan."

Ibu Dara mengucapkannya dengan susah payah.

" Kematian alami. Tidak ada tanda-tanda kekerasan atau usaha menggugurkan."

Dara menggigit bibirnya menahan tangis.

Bagaimana bisa dia tidak tahu kalau Shani sedang hamil? Perutnya terlihat rata dan tidak ada tanda-tanda kehamilan. Shani tampak sangat sehat.

" Ra, kamu tahu siapa ayah bayinya?" tanya ibu membuat Dara semakin kalut.

Dara menggeleng keras karena Shani tidak punya pacar. Dia benci cowo. Sebagian besar waktunya dihabiskan bermain bersama Dara. Mereka hanya mengagumi cowo-cowo K-Pop, selain itu tidak ada 1 cowo pun dalam hidup mereka selain ayah mereka.

" Dara ga tahu, Mi. Dara ga tahuuu... Dara jahat, Miii..."

Tangis Dara pecah. Membayangkan Shani menanggung semuanya sendirian dan dia, sahabatnya, tidak tahu apa-apa. Padahal begitu banyak tanda-tanda Shani butuh ditolong.

Ibu Dara memeluk Dara dengan hangat, mencoba menenangkan anak sulungnya. Ia akan menahan diri untuk mencari tahu dari Dara sampai ia siap.

Jika ini kasus pemerkosaan, ia harus membawanya ke meja hukum.

***

Aroma alkohol dan obat mengiringi langkah Dara di lorong rumah sakit. Buket bunga di tangannya ia pegang erat-erat, membantunya menahan rasa tegang di hatinya.

Brakkk!!

Langkah Dara tertahan melihat seseorang terlempar dari salah kamar rawat. Seorang lagi keluar dan langsung mencengkram kerah baju orang yang pertama.

Itu ayah sambung dan ayah kandung Shani.  Ayah kandung Shani,  Om Fatur mendaratkan pukulan kuat di wajah Om Wali. Satu kali, dua kali,  tiga kali. Yang keempat kali Tante Vemi muncul dari dalam kamar menahan tangan Om Fatur.

" Mana buktinya? Kamu ga punya bukti!  Ga bisa kamu main hakim sendiri kayak gini!“

Om Fatur langsung berbalik ke arah Tante Vemi dan menudingnya dengan wajah memerah.

" Kamu ibu macam apa?? Sekarang kamu mau bilang kalau Shani bohong? Kamu lebih milih laki-laki setan ini?!"

" Laki-laki setan? Kamu yang setan! Dia melakukan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga! Kamu sendiri apa? Apa yang kamu lakukan? Ha?? Bahkan sampai sekarang kamu ga membiayai apa pun untuk Shani!"

Om Fatur terdiam. Ia berbalik ke arah Om Wali lagi dan mendorongnya ke tembok. Ia melayangkan 1 pukulan lagi. 
Walaupun Om Fatur memiliki postur yang lebih kecil, Om Wali babak belur dibuatnya.

" Pak, tahan Pak! Jangan buat keributan di sini!"

Dua orang petugas security berseru keras dan berlari melewati Dara. Salah satunya menarik Om Fatur dan yang satunya lagi berdiri di depan Om Wali, menengahi.

" Kamu! Kamuuuu... Kamuu hancurkan hidup anak saya! Beraninya kamuuuu! Saya pikir kamu bisa dipercaya!!"

Om Fatur menunjuk-nunjuk Om Wali dengan tangan lunglai. Amarahnya berganti dengan raung tangisan penuh ratapan. Ia memanggil nama Shani berkali-kali. Petugas security yang menahan tubuhnya, membiarkannya terduduk di lantai dan menangis.

Dara yang sejak tadi melihat kejadian itu hanya bisa terpaku. Ia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi.

Om Wali dan Tante Vemi melewati Dara tanpa peduli pada keberadaan gadis itu. Sambil menggerutu dan mengeluarkan sumpah serapah, mereka pergi ke lift dan meninggalkan lantai itu.

Sementara itu Om Fatur dibantu dua security tadi, pergi ke arah ruang tunggu. Mereka mencoba menenangkannya.

" Mba, mau jenguk siapa?" 

Dara tersentak saat bahunya ditepuk pelan. Seorang perawat berdiri di belakangnya dan tersenyum dengan ramah.

" Oh.. Itu.. Saya mau jenguk Shani.."

Raut wajah perawat itu berubah kikuk tapi ia tetap menunjukkan kamarnya. Kamar dimana Om Fatur dan Om Wali tadi keluar.

Dara melihat Shani di ranjang dekat jendela. Berbaring dengan menoleh ke arah jendela.

Dara mengetuk pintu pelan tapi Shani tidak menoleh.  Ia mendekat perlahan.

" Ma, aku kan udah jelasin semua..."  Shani menoleh untuk memprotes karena merasakan ada seseorang mendekatinya. Ia terkejut saat melihat Dara berdiri di dekat ranjangya.

" Dara..."

Dara tidak menjawab. Shani mencoba tersenyum, tapi ekspresi Dara yang penuh rasa bersalah membuat Shani tidak tahan. Bendungan pertahanannya pecah.

" Ra, ini bukan salah lo. Bukan salah lo."

Shani sesenggukan mengulurkan tangannya pada Dara meminta Dara memeluknya.

Tanpa ragu Dara menyambut tangan itu dan memeluk Shani dengan erat. Ia ingin membawanya kemana pun ia bisa supaya Shani bisa aman. Tidak perlu merasakan kesakitan lagi.

" Maafin gw Shan! Maafin gw..."

Tangis mereka pecah. Perasaan mereka tumpah. Rasa ingin melindungi satu sama lain yang begitu kuat meledakkan hati mereka.

Tangisan jujur yang pertama kali mereka rasakan... Kenapa  harus dengan cara ini??

***

Dara memutar jam tangan kulitnya dengan gelisah. Janji temunya pukul 5 dan sekarang sudah pukul 4.30. Ia gugup sekali.

Bagaimana kabarnya? Dia sudah seperti apa sekarang? Dara melihatnya di Instagram tapi belum pernah melihatnya secara langsung.

Dia tampak bahagia. Tanpa luka.

Dara berharap apa yang ia lihat di Instagram adalah benar-benar yang ia rasakan. Bukan topeng seperti yang orang-orang bilang.

Setelah kejadian itu, Shani tinggal dengan Om Fatur. Om Wali disidang dan dihukum atas hukuman kekerasan seksual terutama pada anak di bawah umur.

Bukti-bukti yang ada kuat untuk membawa Om Wali masuk penjara.

Ternyata Shani mengumpulkan bukti-buktinya. Selama itu dia merahasiakannya karena Tante Vemi tidak percaya padanya. Malah menyuruhnya untuk diam dan jangan menyebar fitnah.

Shani menunggu waktu yang tepat untuk memenjarakan ayah sambungnya. Tapi ia sendiri tidak menyadari kalau bukti terkuat ada dalam kandungannya. Ia tidak tahu kalau ia sedang mengandung.

" Gw jahat ya, Ra. Gw bersyukur dia mati. Gw ga tahu harus gimana kalau dia hidup. Gw mungkin bakal gila. Mungkin bakal gw bunuh..."

Air mata Dara jatuh di pipi mengingat hari-hari dimana Shani menceritakan semuanya. Mereka berbagi luka dan air mata.

Nyokap gw bisa bantu, Shan. Kalau sampai bayi itu hidup, Nyokap gw pasti bantu. Supaya lo ga perlu naggung luka lainnya... "

Ya, kalau sampai bayi itu hidup, ibunya Dara akan menolong Shani untuk menemukan keluarga lain yang mau mengasuh bayi itu. Shani tidak perlu melakukan hal yang akan melukai hidupnya lagi.

" Ra!"

Dara terbangun dari kenangannya mendengar namanya di panggil.

Ia menoleh ke arah suara itu berasal dan melihat wajah yang ia kenal dengan baik. Senyum lebar itu yang membuat matanya menjadi garis tipis.

Ia tampak lebih segar, berisi. Di belakangnya seorang pria berkulit sawo matang berjalan menggandeng seorang anak laki-laki usia 5-6 tahun.

Mereka berjalan ke arah Dara dan awan mendung yang tadi menyelimuti hati Dara seketika terhapus. Shani yang bersinar terang akan mencerahkan harinya lagi.

****

 

Trakteer cendol untuk Dara & Shani supaya hidup mereka terus happy.

KAPAL KAWAN | TARIAN JIWA


0 Comments