Jatuh Ke Atas

Kemarin saya dan sahabat-sahabat saya berkumpul untuk terakhir kalinya sebelum saya menikah. Saya menginap dan menyediakan waktu bersama mereka karena pasti nanti saya tidak akan bisa menginap seperti kemarin lagi.

Sebenarnya dan sejujurnya, saya sendiri bingung mau ngobrol apa dengan sahabat-sahabat saya. Saya sudah jarang bertemu mereka dan mengobrol dari hati ke hati. Dulu kami satu kosan, satu kampus, satu gereja, satu area komsel. Kami bisa menginap beberapa kali atau pulang sangat malam karena ngobrol tentang banyak hal. Tapi sejak bekerja rasanya jadi berbeda. Terutama saat diantara kami berdua sudah ada 2 orang yang sedang dalam masa bangun hubungan (termasuk saya). Area pekerjaan kami berbeda dan apa yang kami hadapi juga mulai berbeda-beda. Cuma satu yang menyatukan kami, kerinduan untuk bisa saling menjaga dan memberkati.

Walau pun sebenarnya memang sebagai hari terakhir saya menginap bersama, toh ternyata Tuhan menyediakan hari itu bukan untuk saya. Dari awal sampai akhir kami mengobrol, saya lebih banyak mendengarkan dan melemparkan beberapa gurauan atau menyampaikan maksud dari cerita sahabat-sahabat saya untuk menyamakan persepsi.

Dari semua cerita, akhirnya saya berfokus pada salah satu sahabat saya, yang saya tahu masalah yang dia hadapi untuk saya seperti berkarung-karung batu yang di letakkan di atas bahunya. Karena dia orang stabil, dia tidak banyak cerita. Kalau tidak ada tempat bercerita, dia bisa menahannya dan menyimpannya sendiri berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Cerita terakhir tentang keluarganya sudah cukup membuat saya hancur hati, saat dia menceritakan kabar terbaru tentang keluarganya lagi saya hanya bisa diam, tidak banyak komentar, dan berusaha menangkap isi hatinya.

Sebelum-sebelumnya, setiap kali dia bercerita tentang keluarganya, saya punya banyak teori yang menurut saya seharusnya dia praktekan. Tapi sejak saya pindah kos dan semakin jarang bertemu dengannya, saya sadar saya salah. Tuhan katakan kalau dia tidak butuh nasehat dan teori saya. Dia sudah tahu semuanya. Dia hanya butuh didengarkan dan didukung. Luka-lukanya perlu dibalut dan ia perlu diberi pengharapan yang baru.

Jadi, kemarin saat saya mendengar ceritanya, saya teringat saat-saat saya berdoa dengan keluarga saya. Saya teringat kerinduan saya untuk teman-teman saya memberi dukungan doa untuk pernikahan saya. Doa adalah hadiah terindah yang bisa diberikan kepada saya pada saat saya berbeban berat. Saat itu saya sadar sahabat saya butuh dukungan doa. Selama ini saya sudah banyak menunda mendoakannya dan memeluknya dalam doa. Hari itu Tuhan berikan saya kesempatan dan saya mau ambil kesempatan itu. Saya tidak mau menyesal dan melihat sahabat saya semakin hancur hati dalam tawar hatinya.

Kemarin saya melihat Tuhan sangat mengasihi sahabat saya itu. Sebelumnya dia kemungkinan tidak akan bisa berkumpul dengan kami karena harus menjaga keponakannya, tapi hari itu akhirnya dia jadi bergabung dengan kami. Salah satu sahabat saya juga harus tinggal di kontrakannya karena Mamanya akan datang, tapi tidak jadi juga. Senang sekali kami bisa berkumpul dengan lengkap dan bisa berdoa bersama lagi. Terlebih lagi buat berdoa untuk sahabat saya yang satu itu.

Tuhan mengasihinya dengan kasih yang besar. Selama ini dia mungkin berputar-putar tanpa tujuan. Hatinya menuduh dan menekannya, sementara dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya seperti mematung dan membiarkan segala sesuatu terjadi. Terjadi ya terjadilah walaupun hatinya sendiri hancur.

Kemarin, Tuhan menunjukkan kasih setianya. Sahabat saya yang biasanya hanya mendengar dan tidak banyak terbuka entah kenapa ia terus bercerita. Tentang keluarganya, tentang pekerjaannya, tentang hatinya yang merasa standar hidupnya turun. Ada beban dari kata-katanya. Ada keputus asaan yang tidak bisa diucapkan. Dia tidak menangis atau pun emosi, tapi saat ia bercerita saya hanya bisa merasakan Tuhan benar-benar ingin memeluknya dan memberinya penghiburan. Tuhan menangis bersamanya sekalipun dia sendiri tidak menangis di hadapan kami. Tuhan menekan hati saya dan merasakan hati yang seperti disayat-sayat dan babak belur. Terseok-seok dan susah payah untuk bangkit. Dia tidak menunjukkan dari raut wajahnya, tapi Tuhan menunjukkannya di hati saya yang rasanya ingin meletus dan berteriak.

Kemarin, Roh Kudus membuka mulutnya agar ia terbuka tentang hatinya dan kemarin juga Roh Kudus menggerakan hati kami sahabat-sahabatnya untuk berdoa untuknya. Tidak ada nasihat, tidak ada standar yang di patokkan lagi, tidak ada kewajiban ini atau itu. Hanya penghiburan dan kasih, supaya ia kuat dan menemukan langkah yang baru. Menemukan hubungannya kembali bersama Tuhan.

Waktu saya menuliskan hal ini pun saya menemukan kesadaran, semakin saya melihat kelemahan di dalam hidup saya, dosa, tawar hati, kepahitan, kekecewaan, tidak bisa menahan hawa nafsu, semakin saya menyadari betapa kecilnya saya. Betapa saya tidak bisa memenuhi standar kekudusan hidup dengan tangan dan kaki saya sendiri. Saya tidak dapat mengasihi dengan sempurna, saya tidak dapat mengampuni seutuhnya, saya tidak bisa menjadi garam atau pun terang … Sesungguhnya semua itu mustahil bagi saya. Tapi oleh karena kasih karunia Tuhan kasih yang murni itu ada di dalam hati saya. Oleh kasih karunia dan anugerah dari Bapa saya dapat mengampuni. Oleh karena kasih karunia dan anugerah dari Bapa saya bisa hidup di dalam kekudusan.

Karena itu, ditengah-tengah rasa kecewa, dosa, atau pun tawar hati saya mau bersukacita karena ternyata saya lemah.

"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." 2Korintus12:9

Biar kejatuhanku bukan membawa aku semakin turun, tetapi semakin naik mendekat dan berpegang kepada Tuhan. Dengan semakin menyadari banyaknya kelemahanku, aku menyerahkan hidupku semakin penuh kepada Tuhan.

4 Comments