ORANG TUA YANG KRISIS OTORITAS

  
Sumber: Freeimages.com
Saya membaca artikel bagus ini di Majalah Renungan Bulanan Build! Edisi Oktober 2015. Karena sedang mengalami sendiri dan mencerahkan, saya bagikan di blog ini. Ada beberapa poin tambahan seperti tentang hak-hak anak, supaya kita bisa lebih jelas melihat topik ini dari sudut pandang lainnya. Semoga bisa mencerahkan juga. GBU.


Dengan perkembangan sosial di dunia sekeliling kita, peranan orangtua sedikit demi sedikit mulai mengalami krisis otoritas terhadap anak-anak mereka. Mengapa, orangtua bisa mengalami krisis otoritas? Rupanya, setidaknya ada 10 pemahaman yang salah yang selalu disuarakan oleh dunia di sekitar kita, khususnya melalui berbagai media, yang terserap dan menjadi paradigma orangtua. Di artikel ini, kita akan melihat lima yang pertama di antaranya.


1. “ Saya mungkin terlalu otoriter, karena saya tertarik konsep ‘otoritas orangtua’, dan sepertinya hal itu tidak baik.”

Jika pikiran ini ada di dalam otak Anda, Anda pasti terus menerus merasa sedang berhadapan dengan ide menakutkan bahwa jika Anda ingin memiliki anak-anak yang taat, Anda harus menjadi yang otoriter (menguasai orang lain). Namun, sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas antara orangtua yang menggunakan kontrol dengan bijaksana karena menghendaki anak untuk bertingkah laku baik dengan orangtua yang terlalu mengontrol, yang tidak dapat menahan diri jika anak kadang memutuskan pilihannya sendiri. Dasar dari sikap orangtua yang otoriter adalah ego (ingin merasa besar dan berkuasa atas anak-anak), sedangkan dasar dari orangtua yang bersikap bijaksana adalah kasih.


2. “ Anak-anak mempunyai semua hal yang dimiliki orang dewasa, termasuk hak-hak memutuskan seperti yang orang dewasa miliki. Itu yang selama ini saya baca.”

Teori-teori yang mendukung gagasan ini seringkali disebut gerakan “hak-hak anak”. Apa sih hak-hak anak itu??

Prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak
1 )Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama Semua anak memiliki hak yang sama. Konvensi ini berlaku untuk semua anak, apapun latar belakang etnis, agama, bahasa, budaya, atau jenis kelamin.Tidak peduli dari mana mereka datang atau di mana mereka tinggal, apa pekerjaan orang tua mereka, apakah mereka cacat, atau mereka kaya atau miskin. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. 

2) Kepentinggan terbaik dari anak Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak. Ketika orang dewasa membuat keputusan mereka harus berfikir bagaimana keputusan mereka itu berdampak pada anak-anak. 

3). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Anak mempunyai hak untuk hidup. Anak harus memperoleh perawatan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan fisik, mental, dan emosi mereka serta juga perkembangan intelektual, sosial, dan kultural. 

4).Partisipasi Anak mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan didengar. Mereka harus memilik kesempatan untuk menyatakan pendapat tentang keputusan yang berdampak pada mereka dan pandangan mereka harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan ini, usia anak, tingkat kematangan, dan kepentingan mereka yang terbaik harus selalu diingat bila mempertimbangan ide atau gagasan anak. (Sumber)

Tapi ada pemahaman yang berlebihan dalam menanggapi hak-hak ini. Beberapa pemahaman di masyarakat memandang segala tindakan otoritas, kontrol dan ketaatan yang sebenarnya berdasarkan Firman Tuhan, oleh teori ini seringkali dihubungkan sebagai paham-paham dogmatis, picik, tidak beralasan, kaku, reaktif, konservatif dan diktator.

Amsal 4:1 berkata, “ Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian..” Di ayat ini, firman Tuhan jelas menegaskan bahwa seorang anak hanya dapat memiliki pengertian (menjadi bijaksana) jika dididik di bawah otoritas ayahnya, yang sesuai dengan Firman Tuhan. Anak-anak belum dewasa dan masih polos, anak-anak bukan orang bijaksana yang mempunyai pengetahuan tentang benar dan salah, baik dan buruk. Merek atidak dengan otomatis membuat penilaian yang benar tentang apa yang baik bagi mereka dan apa yang perlu mereka lakukan. Tuhan telah memberikan orangtua yang tepat bagi mereka karena mereka memerlukan bimbingan dan pengawasan selama tahun-tahun pertumbuhannya. Hak-hak anak-anak berbeda dengan hak-hak orang dewasa. Dalam hal ini, anak-anak memiliki hak untuk mendapat bimbingan, hak untuk diajar tentang disiplin, bukan hak untuk memutuskan “segala sesuatu” bagi diri mereka sendiri.


3. “ Jika saya ingin mengontrol tingkah laku anak-anak saya, berarti saya tidak mengasihi mereka.”

Berikan kasih sayang kepada anak-anak, tetapi jangan berikan larangan-larangan dan disiplin. Ini anggapan salah yang bahkan juga dianut oleh beberapa ahli Kristen. Anggapan ini bertolak dari pemahaman bahwa kasih berlawanan dengan disiplin. Benarkah pemahaman ini?

Kasih memang dapat bersifat lembut dan menghibur, namun dapat pula bersifat tegas, pasti dan tetap - bahkan menerapkan pendisiplinan jika perlu. Kasih dapat menimbulkan rasa sakit atas orang yang kita kasihi, jika hal ini memang diperlukan untuk kebaikannya sendiri. Ingatlah, bagaimana pada saat-saat tertentu Allah mendisiplin kita karena Dia mengasihi anak-anak-Nya, atau pikirkan bagaimana jahitan dokter yang sakit itu dapat menutup luka yang terbuka. Inilah sisi lain dari kasih: disiplin yang tegas.


4. “Kewajiban saya hanyalah memberi makan, pakaian dan rumah bagi anak-anak.”

Sebagai orangtua, saya hanya perlu memastikan bahwa mereka mendapat semua kesempatan dan keuntungan. Selain itu, saya tidak perlu memusingkan atau mengganggu mereka. Pemikiran ini berasal dari asumsi bahwa sifat manusia sebenarnya baik, dan sifat jelek (atau nakal pada anak-anak) adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Orangtua bisa saja merasa bahwa mereka memenuhi kebutuhan pokok anak, mereka tidak perlu campur tangan lebih lanjut, karena “kebaikan” anak akan muncul dan bertumbuh secara alamiah.

Firman Tuhan di dalam Roma 3:23 jelas berkata, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,”, jadi tidak ada anak (kecuali Yesus) yang lahir dengan membawa “kebaikan” lebih banyak daripada “kejahatan”, karena setiap anak adalah manusia yang merupakan keturunan manusia pertama, Adam dan membawa warisan kecenderungan untuk berbuat dosa/jahat. Oleh karena itu, peran otoritas orangtua yang melakukan “campur tangan” melalui disiplin adalah proses pembentukan nilai-nilai kehidupan anak yang benar.


5. “Rasanya ide bahwa anak-anak harus menaati orangtua mereka dan bahwa orangtua harus melatih dan mendisiplin anak-anak mereka merupakan gagasan Perjanjian Lama, yang sudah ketinggalan jaman dan tidak berlaku lagi. Bukankah kita adalah orang Kristen yang hidup di dalam jaman anugrah?”
Ya, benar, kita adalah orang Kristen yang hidup di dalam jaman anugrah dan bukan di bawah hukum Taurat. Namun, apakah Perjanjian Baru tidak mengajar para orangtua Kristen untuk mendidik anak-anak mereka dalam hal ketaatan dan moral? Mari kita lihat jawabannya.

“ Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormtilah ayahmu dan ibumu... Dan kamu, bapa-bapa janganlah bangkitkan amarah did alam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”(Efesus 6: 1-2, 4)

Jadi, jelaslah bahwa Perjanjian Baru pun mengajarkan kebenaran yang sama tentang keluarga, seperti Perjanjian Lama. Tidak ada bagian manapun di dalam Perjanjian Baru yang membatalkan perintah Tuhan di dalam Perjanjian Lama mengenai hubungan antara orangtua dan anak.

Inilah lima kebenaran penting yang perlu, bahkan harus kita terapkan sebagai orangtua kepada anak-anak kita. (Hyu)



Sumber: Majalah Build – Oktober 2015




0 Comments