Unfamilliar Lover - 7: Rahasia Hati

 Shutting down...


Pamela mematikan laptopnya dan menarik tangannya ke atas, melonggarkan otot-ototnya yang kaku. Berjam-jam tanpa sadar ia keasikan mengupload koleksi pakaian, sepatu, dan jam tangan Ben yang tidak ia pakai tapi masih lumayan bagus untuk dijual.

Baru beberapa menit ia mengupload beberapa barang dan sudah banyak yang merespon. Pamela jadi semakin semangat menjual dan tanpa sadar sudah hampir tengah malam.

Pamela menoleh ke tempat tidurnya, di sana Ben tertidur pulas dengan tangan masih memegang hp. Pasti dia lelah sekali. Beberapa hari ini ia harus mengurus kepindahan, tugas akhir, juga Tante Laurent yang terlihat sangat menurun kondisi mentalnya.

Perlahan Pamela mendekat dan duduk di sisi ranjang, memandangi wajah Ben yang tampak tenang. Hanya di saat seperti ini Pamela bebas memandangi wajah Ben. Dalan keseharian, Pamela tidak pernah bisa benar-benat menatap mata Ben. Ia takut cowo itu membaca isi hatinya karena ada rahasia di dalamnya. Rahasia hanya Pamela sendiri yang tahu.

Pamela tersenyum lembut mengagumi bulu mata Ben yang panjang. Hidungnya yang mancung dan alisnya yang tegas. Pamela ingin berlama-lama melihatnya, tapi ini sudah hampir tengah malam, Ben harus pulang. Dia tidak boleh menginap karena dia cowo. Mommy akan ngomel panjang lebar karena ia tidak membiarkan laki-laki yang bukan saudara menginap di rumah. Lagipula Tante Laurent sendirian di rumah. Ia tidak boleh ditinggal terlalu lama

🎶🎶🎶

Baru saja Pamela mau menepuk pipi Ben, hp Ben berbunyi dan cowo itu langsung terlonjak, bangun. Ia mengangkat hpnya dan langsung menerima sambungan telepon.

"Ya, Ma?" tanyanya sambil mengusap wajahnya agar kesadarannya segera kembali. Ia menoleh pada Pamela dan menyeringai sambil mengucapkan "thank you" tanpa suara.

"Iya, ini Ben mau pulang. Nanti Ben beliin martabak Nutelanya. Mau yang lain ga? Ok."

Ben memutuskan sambungan dan menoleh pada Pamela lagi sambil menyambar jaketnya yang ada di tempat tidur.

" Barang preloved lo 70% udah kejual. Besok tinggal kirim-kirimnya." jelas Pamela sambil menyodorkan kamera yang tadi mereka pakai untuk memotret barang-barang yang mereka jual. Ben menerimanya dan memasukkannya ke dalam ranselnya dengan cepat.

"Duh, La. Thank you banget yaaa. Emang lo penolong terbaik gw. Besok gw ke sini lagi bantuin packing ya. Emak gw udah nyariin. Sori kamar lo jadi berantakan."

Pamela dan Ben menyisir pandangan mereka ke seluruh lantai ruangan yang penuh barang Ben. Berantakan seperti kapal pecah.

" Aduhh, gw beresin dulu deh."

" Ga usah!" dengan cepat Pamela menarik tangan Ben yang sudah mau meraih salah satu kotak sepatu. Ia mendorong punggung Ben agar sahabatnya itu keluar kamar.

"Cepetan pulang. Tante udah nungguin. Ini ntar gw yang beresin. Lo tinggal traktir gw sebagai upah kerja keras gw."

Ben memutar badannya dan memeluk Pamela erat. Jantung Pamela serasa melorot. Ben memang sangat mudah mengekspresikan isi hatinya lewat gestur tubuh jika sudah benar-benar dekat. Pemale tahu sekali akan hal itu, tapi tetap saja ia tidak pernah siap dengan sentuhan-sentuhan Ben yang mendadak.

"Thank youuu yaaa... Besok gw balik lagi. Salam buat Mom!"

Setelah melepaskan pelukannya Ben langsung melesat pergi, menyisakan debaran tak karuan di dada Pamela.

" Rese kamu, Ben" bisik Pamela menahan panas di pipi dan kepalanya. Ia menekan dadanya, menahan jantungnya yang seperti mau melompat keluar, kegirangan.

Dua belas tahun mereka bersahabat, semuanya biasa saja di awal. Pertengkaran-pertengkaran kecil yang membuat mereka semakin dekat dan membuat mereka saling percaya untuk menceritakan sisi lain hidup yang orang lain tak tahu. Susah senang bersama.

Mereka pernah bertengkar hebat karena sebuah kesalah pahaman dan di situlah dimulai benih-benih rahasia Pamela bertumbuh. Untuk pertama kalinya Pamela kehilangan sosok Ben dalam kesehariannya dan ia tersiksa. Saat mereka berbaikan, Pamela berjanji dalam hatinya, semarah apa pun ia, ia tidak akan menutup komunikasinya dari Ben. Ia akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.

"Where is Ben?"

Pamela hampir saja melemparkan arloji Ben dari tangannya saking terkejutnya. Di pintu Vira, Mommynya, melongokkan kepalanya. Sanggulnya yang sejak pagi tadi ia tata tampak masih sempurna.

" Already go home, 15 menit lalu," jelas Pamela sambil menghampiri Vira yang sibuk melepaskan pin kondenya satu per satu.

"Sini Ela, help me."

"Di kamar Mommy aja."

Pamela mengekor Vira sambil menarik pelan ulosnya yang masih tergantung menghias bahunya yang tambun.

" La..." panggil Vira saat ia sudah melepas kebayanya dan duduk di depan meja riasnya.

" Ya, Mom?" Pamela menghampiri Vira dan mulai membantu ibunya itu melepas pin-pin sanggulnya.

" Ben ada tell you tentang his daddy company ga?" tanya Vira dengan nada pelan dan hati-hati.

" Ga, Mom. Why?" Pamela menghentikan kesibukannya sejenak dan memandang bayangan Vira di cermin.

" No, it's okey. Ntar aja Mommy cerita. Masih simpang siur. I am not sure. Daddy juga masih diskusi sama pemegang saham lainnya tadi di party. Mereka masih mau pastiin dulu."

Ada rasa tidak nyaman di ulu hati Pamela mendengar penjelasan Vira yang menggantung. Walaupun dikatakan tidak apa tapi sepertinya serius sekali.

Ben tidak pernah peduli dengan perusahaan keluarganya. Sejak dulu dia ingin mandiri, lepas dari papanya. Toh, sudah ada Jos yang akan jadi pewaris perusahaan. Tapi, melihat kondisi Jos sekarang, harusnya Boas sudah membicarakan sesuatu dengan Ben..

Tapi Ben belum mengatakan apa pun sampai hari ini. Meskipun Pamela bisa merasakan Ben banyak berpikir sejak kejadian 1 tahun lalu, Ben belum pernah membahas apa pun tentang kecelakaan itu seolah ia ingin melupakannya. Bahkan akhir-akhir ini Pamela perhatikan dia semakin banyak melamun. Sejak bertemu Hira..

Apakah Ben menceritakan sisi hidupnya yang lain pada Hira? Apa karena itu Ben tidak menceritakan masalah penting ini pada Pamela?

Mendadak seperti ada yang menusuk ulu hatinya pelan. Rasa takut yang dulu pernah ia rasakan menghampirinya, menjalar di balik punggungnya perlahan. Ia membayangkan hal terburuk dari hubungannya dan Ben. Ia sudah membayangkannya sejak lama, mempersiapkan dirinya, tapi saat melihat saat itu akan tiba tepat di depan matanya, ia merasa tidak akan pernah siap...

$$

Pamela terbangun dari lamunannya dan merogoh handphonenya yang berbunyi. Sebuah pesan chat muncul di notifikasinya.

" Arta, gua di bawah nih, bawain klepon cake kesukaan lo. Cepetan turun."

Pamela mendesis tajam membaca pesan chat salah satu teman di agensinya, Tigor. Hanya dia saja yang memanggil Pamela dengan nama belakangnya Arta. Mentang-mentang sama-sama batak dan punya hubungan pariban, Tigor selalu merasa punya hak untuk bisa menjadi suami Pamela. Setiap kali bertemu siapa pun, ia akan mengumumkan bahwa Pamela adalah paribannya.

Sudah 5 tahun Pamela berteman dengannya dan selalu melotot padanya setiap kali Tigor membahas masalah pariban, tapi tetap saja Pamela tidak bisa menjauh. Seolah-olah Tigor punya magnet yang membuat orang lain tidak bisa menolak dirinya. Bukan sebagai lawan jenis, tapi sebagai seseorang yang bisa dipercaya.

" Mommy, Ela turun dulu ya. Si Tigor tau-tau dateng."


" Lah, suruh masuk aja La. Mau kamu biarin dia nunggu di luar?"


" Ga ah. Udah malem gini. Lagian ntar dia kegirangan, dikiranya Mommy mau dia jadi mantunya."


" Mommy ga keberatan kok. He is handsome and a hardworker... right?"


" I know....Tapi Ela ga mau."

Pamela langsung ngeloyor pergi meninggalkan Vira sebelum ibunya itu mengatakan hal-hal yang Pamela pun tidak mau membayangkannya. Vira selalu membanding-bandingkan Ben dan Tigor. Ia akan mengatakan kalau dia harus memilih menantu, dia akan memilih Tigor karena Tigor orang batak, pekerja keras sekalipun bukan dari keluarga kaya. Pamela selalu membenarkan pendapat mommynya tapi hatinya tetap saja tidak bisa diajak kerja sama untuk bisa memilih hal-hal yang masuk akal.

" Lama bangettt!!" omel Tigor saat Pamela membuka pagar. Ia masih duduk di atas motor Honda Scoopynya dengan helm masih di kepala. Sepertinya ia sendiri tidak ada niat untuk singgah berlama-lama.

" Suruh siapa dateng?!" Pamela mengomel balik.

Tanpa babibu Tigor menyodorkan kantong plastik putih dengan kotak kecil di dalamnya. Pamela menerimanya dengan enggan dan mengintip ke dalam kantong. Sepertinya klepon cakenya lumayan banyak.

" Itu bikinan mama. Habisin sama tulang dan nantulang ya. Jangan lupa pesan-pesan sponsor, bilang dari Tigor."

" Iyeee..Bawel. Pulang sana!" usir Pamela membuat Tigor memonyongkan bibirnya.

" Bilang makasihhh dooong. Akooh kan udah baikkk..."

" Iya, makasihh Tigor. Pulang gih, udah malem."

" Ben tadi ke sini?" tiba-tiba saja nada suara Tigor jadi serius.

Pamela mengangguk kikuk. Tigor selalu menunjukkan kecemburuannya dengan terang-terangan, terutama pada Ben sahabat terdekat Pamela. Tigor selalu merasa Ben punya perasaan khusus pada Pamela padahal itu hanya asumsinya. Asumsi yang membuat Pamela berharap hal itu sebagai sebuah kebenaran.

"Ngapain dia?"

" Minta bantuan gw buat jualin barang-barangnya yang udah ga kepake."

" Jadi, itu yang di IG semua barang-barang dia?"

" Iya.." 

" Tajir mampus ya dia...Besok dia ke sini lagi?"

" Iya, kami harus packing buat kirim barang-barang yang sudah terjual."

" Besok gw bantuin. Jam berapa janjiannya?"

" Ga usaaaahhh! Udah pulang sana!"

" Besok pagi-pagi gw dateng! Dah, Arta!"

Belum sempat Pamela memprotes rencana Tigor, cowo itu sudah meluncur pergi sambil tertawa keras. Pamela menahan napasnya membayangkan suasana besok yang kaku karena Ben dan Tigor harus bertemu muka.

" Haduhhhh..."


***

Sawer Pamela kalau kamu penasaran sama hubungan Hira, Ben, Pamela, dan Tigor... Bakal kemana arah hubungan mereka? 

SEBELUMNYA | SELANJUTNYA


 

0 Comments