Kesaksian Mengikuti Kelas Bimbingan Pra Nikah (BPN)


Di kelas BPN, sebelum para pasangan akan menikah, biasanya tiga bulan sebelumnya diminta untuk menulis sebuah kesaksian selama mengikuti kelas BPN. Ci Lia juga posting sedikit di blog ini. Malahan dicetak di warta. Yah, jadi saya mau ikutan ci Lia untuk bagiin apa yang jadi kesaksian saya tentang kelas BPN. Intinya BPN itu investasi seumur hidup dalam pernikahan. Walaupun berkali-kali ikut, pasti akan ada rhema baru yang kita terima. So, ini sebagian kecil yang saya terima dari kelas BPN. :)


Awal masuk BPN, ada pemikiran dalam diri saya bahwa saya sudah tahu apa yang akan dibahas di dalam kelas-kelas BPN (sombonggg..), tapi ternyata saya SALAH BESAR!! Memang ada beberapa hal yang sudah saya ketahuai dari membaca buku tentang pra-nikah atau kelas Love Sex and Dating di SPK (Saya Pengikut Kristus), tapi itu hanya sepersekian bagian yang dibagikan di kelas BPN.

Selama dua periode kelas BPN ternyata masih banyak hal yang belum saya ketahui. Tentang apa itu pernikahan, bagaimana melakukan komunikasi yang baik, bagaimana mengatasi konflik, tentang terbuka dengan pasangan, dan yang paling merhema bagi saya pribadi – warisan abadi bagi anak-anak kami nanti. Banyak hal-hal kecil yang di bagikan di kelas BPN, tapi kalau kita menyepelekannya bisa menjadi pemicu besar ributnya rumah tangga.





Misalnya, dulu kalau saya sedang kesal, sering kali saya akan menyimpan kekesalan saya dan mendiamkan pasangan saya beberapa lama. Tidak membalas sms, tidak mengangkat telepon dan membiarkannya kebingungan. Puji Tuhan kebiasaan ini tidak berkepanjangan, dari BPN juga saya belajar tentang bagaimana mengatasi konflik. Jika tidak suka dan mungkin sampai marah, berikan jeda untuk diri sendiri dan pasangan. Sampaikan apa yang dirasakan bukan mengungkit masalah dan menghakimi pasangan. Saya dan Gerry juga belajar mengatasi konflik dengan berfokus pada penyelesaian masalah dan pengharapan kami daripada berfokus pada masalah itu sendiri atau mencari-cari siapa yang salah. Sungguh bukan hal yang mudah. Jika Roh Kudus tidak mengingatkan saya untuk punya sikap yang rendah hati. Jika tidak diingatkan terus bahwa saya ini adalah penolong bukan perongrong, mungkin saya dan Gerry tidak akan bertahan sejauh ini.

Setiap kali saya mendengar pemimpin mengatakan “ Belajar seumur hidup untuk mengenal pasangan masing-masing”, membuat saya mengerti kalau mengenal pasangan saya sekian tahun belum tentu saya kenal dia luar dalam. Apalagi kami baru masa pra nikah. Saya dan Gerry punya banyak persamaan, tapi juga banyak perbedaan. Saya wanita dan dia pria (yaa, tentu saja), saya Batak – dia Manado, saya Stabil-Cermat – dia Intim-Dominan, dan yang paling saya rasakan adalah cara kami berkomunikasi itu berbeda. Di kelas BPN ditekankan bahwa komunikasi harus dilakukan sejelas-jelasnya sampai orang yang mendapat informasi mengerti 100% apa yang kita maksud. Tidak gampang saudara-saudara, tapi Puji Tuhan, Gerry mau belajar dan Tuhan juga terus ingatkan saya untuk terus belajar mengkomunikasikan apa yang ada di hati dan pikiran saya walau merupakan siksaan berat karena saya orang yang lebih banyak menyimpan isi hati saya. Sekarang kami sudah menemukan pola komunikasi yang tepat di antara kami supaya informasi diterima dengan baik 100% (meski begitu, masih harus terus belajar).

Baca juga MENIKAH ITU HAK DAN GA MENIKAH JUGA HAK, PILIH YANG MANA? 


Kelas BPN membantu kami untuk aware bahwa pernikahan bukan main-main. Bukan panggung sandiwara yang biasa kami bawakan dalam pelayanan kami. Pernikahan KUDUS, sesuatu yang serius, harus didoakan, dipikirkan dan disiapkan dengan matang. Bukan hanya menyiapkan gedung, gaun, jas, katering, dekor dsb, tapi yang lebih penting apa yang ada di hati kami, apa yang ada di pikiran kami. Para pemimpin BPN membantu kami ‘bangun’ dan sadar bahwa kami akan punya fungsi dan peranan kami nanti masing-masing. Belajar melakukan fungsi pribadi dengan maksimal dan menahan diri untuk tidak mengambil alih fungsi pasangan. Bagaimana keluarga kami nanti bukan ditentukan orang tua kami, bukan pemimpin kami, apalagi tetangga kami, tapi kami berdualah yang akan menentukannya. Semuanya ada di tangan kami.

Dua periode di kelas BPN rasanya memang tidak cukup untuk belajar menjadi suami yang baik atau menjadi istri yang baik, tapi dasar-dasar yang telah diwariskan para pemimpin pada kami sudah menjadi pegangan dan bekal yang berharga untuk kami membangun keluarga kami nanti. Terima kasih untuk para pemimpin yang telah memberikan diri membagikan kehidupan keluarga mereka. Keluarga mereka tidak sempurna, tapi penyertaan Tuhan sempurna dalam kehidupan pernikahan mereka. Kami bisa melihat, sekalipun mereka pernah gagal berkomunikasi dengan benar, atau mendengarkan, atau memahami, mereka tetap saling mengasihi dan mendukung satu sama lain. Dari semua ajaran yang ada, kesaksian dan cerita hidup keluarga merekalah yang paling teringat di kepala dan hati saya.

Seperti halnya mereka pernah berkata bahwa seharusnya yang menjadi pembina kami adalah orang tua kami sendiri, seperti itulah juga akhirnya mimpi kami, bisa menjadi pembina bagi anak-anak kami sendiri di masa pra nikah mereka nantinya.

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati. – Lasma Frida Manullang-

Kalau Aki berkenan, nanti akan saya postingkan kesaksian versinya Aki. Hahahaha... Kalo dia berkenan yaaa.. :p

2 Comments

  1. Lasmaaaa....
    Selamat ya, salam buat Aki.
    Cieee...yang jadi nyonyahhhh ^^
    Btw, beneran deh, waktu courtship malah keluar jelek-jeleknya daku, huhuhuhu. jadi makin 'dipertajam', jadi belajar merubah diri jadi lebih baik, belajar gak egois, belajar macem2. baru courtship, belum persiapan nikah padahal. jadi penasaran nih pelajaran yang didapat dari BPN, dishare lagi ya Ma, aku pengen belajar juga, hohohoho

    BalasHapus
  2. Thank you Mega. Emang di courtship keluar semua busuk2nya kita yang kita sendiri ga sadar. Makanya ada yang bilang kalau mau makin serupa Kristus, menikahlah. :D

    BalasHapus