Maaf

Ehm, ini adalah salah satu novel buatan saya yang sudah selesai...Agak memalukan sih. Meledak-ledak dan sangat ababil. Seperti asal bikin. Yah, maklum ya amatir. No matter what, walaupun banyak hal yang ga bisa jadi teladan dari novel ini, tapi semoga orang bisa nangkep pesan yang pengen saya sampaikan. Endingnya juga kayak fairy tale dan maksa....Terburu-buru pengen ke ending, tapi terima ajalah ya.. Still love this novel, karena ini 'anak' saya juga. Hehehhe... Jadi, inilah ceritanya...






BAB I


Pulang





Wei menggenggam pegangan kopernya erat-erat seolah takut akan ada orang yang merebut koper itu dari tangannya. Ia memandang sekeliling terminal yang ramai, banyak orang yang menunggu dengan sabar bus tujuan keberangkatan mereka. Teriknya matahari dan udara yang gerah cukup mengganggu tetapi tampaknya mereka tidak peduli.

Tidak seperti para calon penumpang yang lain, yang Wei tunggu adalah Rick. Ia menunggu tetangganya yang kurus ceking itu datang menjemputnya. Tapi sudah hampir setengah jam Wei menunggu, Rick tidak muncul-muncul juga. Wei mulai tidak sabar.

Sejak awal Wei memang tidak ingin pulang, tetapi Mama memaksanya. Beliau ingin Wei menemui Henry, ayahnya, yang mulai sakit-sakitan.

Sebenarnya Wei tidak peduli apakah Henry sakit atau sudah meninggal. Toh, sejak awal Wei sudah memutuskan untuk tidak peduli tentang apa pun yang berhubungan dengan ayahnya. Pria itu juga tidak peduli dengan keadaan Wei. Dia tidak pernah datang untuk mencari Wei dan ibunya. Bahkan mengirim surat saja tidak pernah.

Sekarang, entah kenapa Wei mau saja datang setelah Mama Alian, istri kedua ayahnya, membujuknya datang. Padahal Wei bersusah payah melupakan kehidupan masa lalunya. Terutama Henry. Apa lagi yang bisa Wei harapkan dari pria seperti itu? Kebanggaan Wei yang dulu karena memeliki ayah seperti Henry juga sudah hilang setelah ia membawa pulang Mama Alian dan Via ke rumah. Bagi Wei sekarang ini, Henry hanyalah seorang penjahat.

Hari semakin siang dan Wei semakin tidak sabaran. Wei merogoh sakunya dan meraih ponselnya untuk menghubungi Rick tapi yang terdengar hanya nada sibuk. Sekali lagi Wei mencobanya dan akhirnya tersambung juga.

“ Rick, kamu dimana? Aku sudah nunggu di sini seperempat jam.”

“ Loh, justru aku sudah nunggu kamu setengah jam di sini. Kamu di mana?”

“ Gimana sih? Aku nunggu di depan loket.”

“ Aku duduk deket loket!”

Wei bengong mendengar keterangan Rick. Ia melihat sekeliling dan menangkap sosok seorang cowo berkemeja biru muda dengan lengan digulung sedang sibuk menelepon dan melihat sekeliling seolah mencari sesuatu.

Sedikit ragu, Wei mendekatinya perlahan dan melihatnya dengan lebih seksama. Cowo itu tidak kurus malah terlihat tegap seperti olahragawan, kulitnya putih, dia memakai kacamata dan rambutnya dimodel spike. Ngga mungkin dia Rick, pikir Wei sambil memalingkan pandangannya tepat saat cowo itu membalas tatapannya.

“ Wei?” tiba-tiba namanya dipanggil. Wei menoleh dan cowo itu sudah berdiri di dekatnya sambil memandangnya dengan tatapan tidak percaya.

“ Wei ‘kan?” tanya cowo itu lagi untuk lebih meyakinkan. Wei mengangguk ragu.

“ Ini aku Rick!” Wei terdiam beberapa saat dan hanya bisa terpaku di tempat. Masak cowo itu Rick teman kecilnya yang dekil itu.

Rick mengulurkan tangannya dan dengan ragu Wei membalasnya. Wei merasa kalau senyumnya terasa sangat kaku karena ia masih tidak percaya dengan perubahan Rick.

“ Kamu beda banget! Udah gede ya!” Wei tersenyum sekilas mendengar komentar Rick. Bukannya dia yang sangat berubah? Dia seperti katak yang berubah menjadi pangeran.

“ Yuk, mobilnya ada di sana.” Dengan sigap Rick mengangkat koper Wei dan membawanya ke mobil jip tua butut yang sudah sangat dikenal Wei. Mobil itu masih terawat rupanya.

“ Memang masih bisa jalan?” tanya Wei sambil membelai mobil itu. Banyak kenangan indah yang terjadi bersama mobil itu.

“ Masih. Aku merawatnya dengan baik. Sejak Oom Henry memberikannya sebagai hadiah ulang tahun padaku.”

Wei mengerutkan alisnya mendengar cerita Rick. Henry memberikan jip kesayangannya pada Rick? Setahu Wei, ayahnya tidak akan memberikan jip itu pada siapa pun. Bahkan pada anaknya sendiri. Bagaimana bisa Rick bisa mendapatkannya sebagai hadiah? Sebegitu spesialnyakah Rick dimata Henry?

“ Ayo naik! Jangan bengong aja.”

Mendengar ajakan Rick, Wei menghentikan lamunannya dan bergegas naik ke jip. Jip yang dulu butut ternyata sudah diperbaiki dan dimodif. Sekarang jip itu terasa sangat nyaman untuk dikendarai.

“ Gimana kuliah kamu?” tanya Rick sambil berkonsentrasi pada kemudi. Wei mengangkat bahu tidak banyak yang ingin ia ceritakan.

“ Baik-baik saja.”

Rick tertawa mendengar jawaban Wei. Ia melirik Wei beberapa kali dan tersenyum geli.

“ Apa yang kamu ketawain?” tanya Wei menyadari tingkah laku Rick yang membuatnya agak risih.

“ Kamu berubah banget. Kayaknya terakhir kali ketemu rambut kamu lebih pendek dari rambutku deh. Banyak jerawat dan kurusnya kayak tengkorak hidup.” Jelasnya sambil tetap senyum-senyum penuh arti.

“ Yang berubah itu kamu. Dulu kamu ‘kan dekil banget. Sekarang kok bisa bersih begini? Ke salon terus ya?” sindir Wei dan Rick hanya bisa tertawa keras.

Rick memang berubah, kota kelahirannya juga berubah. Lebih ramai dan semakin modern. Ia tidak tahu bagaimana dengan ayahnya. Apakah masih tetap sama? Angkuh, penuh harga diri dan suka seenaknya?

Membayangkan akan bertemu dengannya saja jantung Wei sudah berdetak cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa pada pria itu saat bertemu dengannya. Memakinya, memeluknya atau diam saja?

Entahlah...

***



Dia tidak berubah. Tetap berdiri tegap diatas kedua kakinya. Matanya masih memancarkan pesona keangkuhan yang akan membuat semua orang tertunduk menghormatinya. Tidak ada tanda-tanda kalau dia akan mati. Yang berbeda darinya hanya kerutan yang semakin banyak dan warna putih yang menghiasi rambutnya.

Wei tidak bergerak melihat ayahnya yang berdiri tegap. Semula ia berharap bertemu seorang tua yang tidak berdaya yang duduk dikursi roda dan memohon padanya untuk tetap ada disisinya. Tetapi yang sekarang ia lihat jauh dari yang ia bayangkan. Rasanya ia ingin lari dan pulang ke kosnya yang di Jakarta. Ia tidak mau melihat keangkuhan pria itu lagi.

“ Switallen Wein. Akhirnya kau pulang, Nak.”

Wei mendenguskan napasnya mendengar namanya dipanggil dengan lengkap. Ayahnya benar-benar konyol memberikannya nama aneh seperti itu.

Henry Susanto, saudagar kaya pemilik perkebunan apel yang sangat dihormati dikotanya. Semua orang tunduk padanya. Jelas saja ia menjadi angkuh dan suka seenaknya.

Dengan enggan Wei mendekati Henry yang sudah merentangkan tangan berharap di peluk. Wei memeluk pria tua itu dan segera melepaskan pelukannya. Ia sama sekali tidak mau berlama-lama menyentuh pria sombong itu.

“ Ayo masuk ke dalam. Kamar buat kamu sudah Ayah sediakan. Kamu pasti suka.”

Wei diantarkan ke kamar di lantai dua. Kamarnya yang dulu ia tempati. Tidak ada yang berubah di kamar itu. Masih seperti dulu. Seperti saat terakhir kali ia meninggalkan kamar itu.

“ Kamu suka ‘kan?” tanya Henry sambil merangkulnya dengan erat. Merasa risih Wei maju selangkah dan mengangguk pelan tanpa menghadap pada Henry.

“ Aku mau istirahat.” Ujar Wei datar membuat ayahnya terdiam. Beberapa saat Henry hanya membisu dan akhirnya ia mengangguk pelan dan meninggalkan kamar. Sebelum ia menutup pintu ia berbalik dan memandang Wei tanpa ekspresi.

“ Beritahu pelayan kalau kau membutuhkan sesuatu.” Ujarnya hangat membuat Wei bergidik. Wei lebih suka kalau ayahnya bersikap dingin daripada harus bersikap sok hangat. Munafik.

Sekali lagi Wei memandang ke sekeliling kamarnya. Kamar dengan cat berwarna baby blue. Di tengah kamar ada ranjang kesayangan Wei yang selalu dilapisi seprai putih. Lemari dan meja belajar putih. Rasanya ia kembali ke masa lalu. Saat dimana ia bisa tidur dengan tenang dan nyaman karena tahu kalau orangtuanya tidur di kamar sebelah dan akan selalu siap menemaninya saat ia tidak bisa tidur karena penyakit insomianya.

Wei duduk di ranjang putihnya yang empuk dan membelai seprai yang terasa sangat lembut di telapak tangannya. Perlahan ia berbaring dan memandang langit-langit kamarnya.Ternyata gambar itu masih di sana. Gambar wajah ayah dan ibunya yang ia gambar sendiri.

Wei mengatakan pada ibunya kalau gambar itu jelek tetapi beliau ngotot ingin menempelkannya di langit-langit kamar Wei.

Waktu itu Ibu memaksa Ayah untuk membantu menempelkannya. Ayah terus menerus menolak sampai akhirnya Ibu lelah dan memutuskan menempelkannya sendiri. Karena tidak bisa berdiri dengan seimbang Ibu terjungkal dan jatuh dengan keras ke lantai.

Beliau tidak apa-apa tetapi menangis dengan sangat keras, seperti anak kecil. Ia terus menerus menyalahkan Ayah yang tidak mau membantu. Ayah akhirnya membantu menempelkan, tetapi tetap saja ibu tidak dengan mudah membebaskannya dari rasa bersalah.

Dengan alasan badannya menjadi sakit karena Ayah tidak mau membantunnya, Ibu memaksa Ayah untuk membantu menggantung pajangan-pajangan yang akan di pasang di tempat-tempat tinggi. Selama ini ayah selalu menolak, tapi karena intimidasi ibu, akhirnya mau tidak mau ayah menurut.

Masih teringat di kepala Wei bagaimana wajah Henry yang merengut mendengar omelan dan perintah ibunya yang cerewet. Waktu itu Wei cuma tertawa-tawa melihat mereka berdua. Mereka seperti ia dan Rick kalau sedang bermain.

Wei menarik napas dalam dan kembali memandang gambar yang tertempel di langit-langit kamar. Warnanya sudah pudar dan kusam. Seharusnya sudah dicopot. Apakah ia harus mencopotnya? Karena kenyataannya ayah dan ibunya sudah tidak berdampingan dengan mesra lagi. Tidak sama dengan gambar itu.

Perlahan Wei memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Gumpulan besar yang ada ditenggorokannya tiba-tiba terasa kembali. Sudah lama ia tidak merasakannya, sekarang ia datang lagi ke rumah ini dan membuat dadanya terasa sesak.

“ Mungkin memang seharusnya aku tidak ada di sini...” bisik Wei dalam hati. Ia merasa telah melakukan kebodohan.

***



0 Comments